Keramat, merupakan kata yang
sangat identik dengan sesuatu yang berbau magis. Dalam keseharian kita,
kata keramat memanglah bukan sebuah susunan huruf yang asing lagi.
Keramat sebenarnya sebuah kalimat yang diadopsi dari bahasa arab karamat yang
berarti mulia. Dalam adat islam, memang ada beberapa hal yang
dimuliakan, seperti halnya hari jumat yang telah dilabeli oleh syara’
dengan label afdlalul yaum (hari yang utama). Juga pengharaman masjidil haram Makah dari pengaliran darah.
Namun alasan sebagaimana dalam pemuliaan
hari jumat oleh syariat, sangat bisa dipertanggung jawabkan. Karena
hari jumat adalah hari dimana Allah menciptakan dunia dan kelak
pemusnahan dunia pun hari jumat. Di hari itu pula adam diciptakan,
dimasukkan surga dan dikeluarkan dari surga. Dihari jumat pula semua
manusia diwajibkan berkumpul dalam satu majlis –salat jumat-
juga hari itu terijabahinya semua doa, dan masih banyak lagi alasan
sebagaimana terpapar dengan jelas dalam hadis-hadis nabi.
Baik secara sengaja ataupun tidak, kita
selalu berkecimpung bahkan ikut andil dalam hal ‘keramat-mengkeramat.’
Seperti halnya saat kita meyakini adanya tempat bertuah, benda bertuah
ataupun masa bertuah. Dari situ, muncullah pengkeramatan yang salah
persepsi.
Lantas, apakah termasuk syirik andaikan kita mempercayai tentang keramatnya sesuatu hal?
Secara sepintas memang terasa sulit
untuk mengklasifikasi, apakah pendefinisian kita terjebak pada sesuatu
yang syirik atau tidak. Karena, secara tidak kita sadari, ada tarik ulur
dalam diri kita sendiri, apakah kita sudah sesuai dengan ‘rel agama’
atau malah tersesat pada ‘rel setan’.
Sebagaimana firman Allah Swt. “Anaa indha dzanni abdi bii,”
Saya sesuai dengan apa yang disangkakan hambaKu padaKu. Dari situ sudah
bisa diartikan bahwa penuhanan Tuhan, sesuai yang telah didefinisikan
oleh seorang hamba itu sendiri.
Antara Keramat dan Keramat
Secara definitif, antara keduanya bermakna sama. Dari keduanya bermakna sesuatu yang mulia. Bisa juga kita definisikan dengan “amru khoriq lil adat,”
yaitu; perkara yang keluar dari penalaran yang biasa. Namun dalam
prakteknya sungguh berbeda. Sedangkan letak pembedanya hanya terletak
pada asumsi masyarakat tentang pengertian keramat itu sendiri.
Seumpama kita contohkan “makam keramat
wali songo”, ini bisa bermakna dua sekaligus. pertama adalah makam
seorang wali yang dimuliakan. Sehingga asumsi masyarakat –yang agamis-
menganggap wali yang dimakamkan disitu bisa menjadi mediator (wasilah) doa kepada tuhan. Sedangkan pemaknaan kedua adalah makam seorang wali yang dianggap mempunyai nilai magic (pengkultusan/
pentahbisan). Sehingga banyak asumsi masyarakat yang menganggap bahwa
tempat tersebut bisa menjadi ajang untuk meminta –bukan kepada Allah,
namun lebih terfokus kepada wali yang dimakamkan tersebut.
Perjalanan Keramat Menguasai Hati Nurani
Kebiasaan pengeramatan sebetulnya sudah
berlaku pada masa dulu kala. Bahkan pada masa-masa awal mula
terbentuknya dunia. Pada zaman nabi-nabi generasi awal, pengkeramatan
suatu benda ataupun hari diaplikasikan dalam bentuk sembahan. Seperti
pada zaman nabi Ibrahim As. Pengkeramatan kaum nabi Ibrahim kala itu
diwujudkan dalam bentuk patung-patung yang terjajar rapi menurut ukuran
dan umurnya, lantas disembah dan dinamai dengan sebutan ‘tuhan’.
Begitupun pada zaman-zaman setelahnya hingga sekarang.
Seperti yang terjadi pada zaman
sekarang, dulu pun pengkeramatan sebuah benda ataupun hari selalu
diprakarsai oleh ‘orang pintar’ yang disebut dengan istilah kahin (dukun),
juru nujum dan lainnya. Sehingga ketika akan ada permasalahan apapun,
andaikata belum berkonsultasi dengan orang pintar maka bisa dipastikan
mereka tidak akan melanjutkan.
Para orang pintar tersebut, setiap waktu
tanpa lelahnya menjejalkan berbagai ‘manuver siriknya’ dalam otak-otak
orang yang memang lemah imannya. Ini terbukti pada saat raja-raja yang
berkuasa pada zaman dahulu selalu mengangkat seorang pintar sebagai
penasehat kerajaan.
Hingga sekarang, fenomena terebut masih terus berjalan dengan seiring waktu. Namun dalam prakteknya, pengkeramatan suatu benda (tamimah.
Arb) ataupun hari, kini kian terbungkus rapi. Sehingga, sang pelaku
sirik itu merasa bahwa yang dilakukannya seolah-olah sudah menjadi titah
agama, bahkan bukan termasuk sirik.
Sebenarnya banyak hal yang bisa
menjadikan kita keluar dari syirik yang terdapat pada istilah
pengeramatan ini. Namun perlu referensi yang akurat, sehingga kita bisa
lebih berhati-hati dalam klasifikasinya. Sebagaimana diketahui, hukum
dalam islam bukanlah “harga mati”. Karena, hukum islam bersifat
subyektif, melihat tempat dan waktu.
Ini merupakan salah satu contoh agar kita terhindar dari bahaya syirik:
Pertama kita harus tahu dalil-dalil yang bertalian (taalluq. Arb) dengan sesuatu yang kita keramatkan (nash quran hadis).
Kedua, harus ada alasan mendasar sebagai
klarifikasi (penjernihan, penjelasan, dan pengembalian kepada apa yang
sebenarnya) dan klasifikasinya (penyusunan bersistem dalam kelompok atau
golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan).
Ketiga, bagaimana kita menyikapi hal itu.
Seperti contoh, pengharaman ziarah kubur
oleh nabi Saw, kemudian dianjurkan. Dalil dari itu sudah ada dan bisa
kita temukan dalam kitab-kitab hadis. Kemudian kita cari alasannya,
mengapa setelah ada pelarangan kemudian dianjurkan? Karena waktu itu
nabi memandang labilnya iman umat islam yang masih terbiasa dengan adat
kaum jahiliyah, sehingga masih ada kemungkinan kesalahan persepsi umat
dengan ziarah kubur. Selanjutnya bagaimana sikap kita agar kita tidak
terjerumus pada budaya jahiliyah yang mengkultuskan makam seseorang.
Nah, sebagaimana kita ketahui dalam
kaidah fiqh terdapat istilah al-adah muhakkamah –semua hal yang sudah
menjadi kebiasaan akan menjadi hukum-, ternyata telah kita makan
mentah-mentah. Mengapa bisa tersimpulkan seperti itu? Karena masyarakat
sekarang ini terlalu banyak mengkonsumsi hal-hal yang terlalu instan,
sehingga dalam pemikiran pun kita selalu mengkonsumsi yang instan pula.
Jadi, sebelum kita jauh terjerumus dalam
kubangan syirik, perbaiki cara pandang kita tentang agama. Perbedakan
antara agama dan adat. Dan dari pemaparan tersebut kita bisa mengkaji
ulang, seberapa tebal iman kita sehingga kita bisa keluar dari pemahaman
sesat yang mengarahkan kita pada ‘rel setan’. Fajul bil-fikr! Pergunakan akal fikirmu!. (*)
Oleh : Al Akhyar
(Majalah MISYKAT Lirboyo)
0 komentar:
Posting Komentar